REPUGRAF SURABAYA | Asal Usul Dayak Agabag | | Percetakan Murah Surabaya | Republic Grafika
Headlines News :

REPUGRAF SURABAYA | Asal Usul Dayak Agabag

Written By republic grafika on Kamis, 09 Juli 2020 | 06.13



Asal Usul Dayak Agabag

20150504-dayak-agabak 
Suku Dayak Agabag, adalah suatu masyarakat adat suku dayak yang mendiami beberapa kecamatan, yaitu di kecamatan Sembakung, kecamatan Sebuku, kecamatan Lumbis dan sebagian kabupaten Bulungan, seluruhnya berada di kawasan utara Kalimantan Timur.
Mitologi Asal usul suku Dayak Agabag
Menurut mitologi yang hidup dan berkembang pada masyarakat Dayak Agabag. Ada 7 bersaudara yang disebut sebagai Tulu Aga-aka. Menurut mereka Tulu Aga-aka ini, sebagai manusia pertama pada awal mula kehidupan di dunia ini.
Mereka meyakini, bahwa mereka berasal dari suatu zat yang membentuk semua yang ada di dunia ini (Namisi da Tanah). Pada suatu hari 3 dari 7 bersaudara Tulu Aga-aka, yang bernama Yaki Kaligot, Apaling dan Alomod, membuat kesepakatan untuk meninggalkan daerah Agabag untuk mengembara, tetapi Yaki Kaligot memilih bertahan untuk tinggal di daerah Agabag. Yaki Kaligot memiliki ukuran tubuh yang paling tinggi diperkirakan sekitar 20 meter. (tentang manusia raksasa di kalimantan pernah diungkapkan pada suatu situs, pernah ditemukan tulang tengkorak manusia setinggi 20 meter).
20150504-dayak-agabak2a 
Setelah sekian lama hidup menyendiri Yaki Kaligot berencana untuk mencari pendamping hidup. Dalam suatu perjalanan untuk mencari hewan buruan Yaki Kaligot bertemu dengan seorang perempuan yang memiliki tubuh besar juga yang bernama Yadu Kulimbong atau Yadu Boton. Setelah pertemuan ini, merekapun hidup bersama di daerah Agabag. Begitu lama mereka hidup bersama akhirnya Yadu Kulimbong atau Yadu Boton melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Pangimong dan anak kedua mereka seorang perempuan yang diberi nama Dala Ety.
Beberapa waktu kemudian Yaki Kaligot pun meninggal (kuburan sekarang masih ada di dekat sungai Sumalumung). Tak berselang lama Yadu Kulimbong pun juga meninggal. Akhirnya tinggal kedua anak mereka yang hidup yang tidak tahu bagaimana mencari makan.
Setelah sekian lama mereka hidup menggantungkan diri pada alam Yaki Pangimong mendapat mimpi, dalam mimpinya Yaki Pangimong disuruh membuka lahan untuk dijadikan ladang. Setelah melakukan pembuatan ladang, sesuai dengan petunjuk mimpinya, ladangpun selesai dikerjakan. Tetapi Yaki Pangimong tidak tahu harus menanam ladangnya dengan tanaman apa. Karena kelelahan Yaki Pangimong pun tertidur, sekali lagi Yaki Pangimong mendapat petunjuk melalui mimpinya. Dalam mimpinya dikatakan bahwa untuk mendapat bibit tanaman yang hendak ditanam di ladangnya, dia harus membunuh adik satu-satunya yang dia cintai. Setelah Yaki Pangimong bangun dari tidurnya Yaki Pangimong sulit untuk melakukan apa yang ada dalam mimpinya.
Hati Yaki Pangimong menjadi gundah dan setelah mempertimbangkan sekian lama, ladang yang di kerjakannya sudah mulai tumbuh ilalang dan rumput. Melihat hal itu, Yaki Pangimong pun memanggil adiknya dan menyuruh dia berbalik. Yaki Pangimong beralasan untuk mencari kutu yang ada di rambut adiknya yang dia sayangi. Adiknya pun mau dan mulailah Yaki Pangimong mencari kutu rambutnya adiknya. Yaki Pangimong sangat sedih, sambil mencari kutu rambut dia meneteskan air mata dan jatuh di bahu adinya, Dala Ety. Adiknya bertanya: (kulo okou aka pantangi sino pokon nasusan nu pinyawomu nu guang daguon mu am balen mu yak dakon), “kenapa kakak menangis kalau memang ada sesuatu, kakak terus terang saja”, kata adiknya. Yaki Pangimong pun menjawab, “tidak ada”.
Sesudah mereka bercakap-cakap, beberapa saat kemudian mereka diam dan tiba-tiba bumi dan segala isinya menjadi hening dan seakan-akan tidak bergerak. Yaki Pangimong pun berlahan-lahan menguhunuskan sebilah pisau dari punggungnya dan menusuk tulang belikat adiknya. Setelah Yaki Pangimong menusuk adiknya, dia membawa adiknya belari di tengah ladangnya sesuai dengan mimpinya. Darah Dala Ety pun tercecer di tengah ladang, selang beberapa waktu ternyata darah Dala Ety tumbuh menjadi padi, kepalanya jadi labu dan singkatnya seluruh anggota tubuh Dala Ety menjadi tanaman yang ada seperti sekarang ini.
Setelah semuanya itu terjadi Yaki Pangimong pun menyesali perbuatannya dan mulai rindu dengan adiknya, hari-harinya dia lalui dengan penyesalan dan tangis. Suatu ketika dimana padi dimana padi di ladang Yaki Pangimong sudah mulai berbuah Yaki Pangimong tertidur, dalam tidurnya ia bermimpi, dia ditanya: (asagit kou ki di yali mu?), “apakah kamu rindu dengan adikmu?”. Yaki Pangimong menjawab “ya”. Kemudian dia diperintahkan: “kalau kamu mau adikmu kembali kamu cari diantara padi di ladangmu yang paling subur dan lalu kamu ikat dengan kulit kayu (kulit nu Putuul). Setelah Yaki Pangimong melakukan semua perintah itu, tiba-tiba, sang adik Dala Ety, berdiri dihadapannya. Kakak beradik ini pun hidup bersama kembali
Selang beberapa mereka hidup bersama, perlahan-lahan mulai tumbuh rasa saling membutuhkan diantara mereka berdua. Suatu ketika Yaki Pangimong mengajak adiknya Dala Ety untuk jala-jalan ke hutan mencari buah-buahan karena pada saat itu musim buah. Mereka berjalan dan menelusuri dataran rendah, tiba-tiba mereka berdua melihat secara bersamaan dua ekor tupai sedang melakukan hubungan (Ampaa).
Melihat hal itu ke dua adik kakak itu mempraktekkan apa yang mereka lihat. Setelah melakukan hubungan intim tersebut, tiba-tiba semua tanaman yang mereka tanam menjadi mati seperti habis diserang hama. Mulai saat itu muncullah istilah Asumbang(Sumbang). Perilaku ini merupakan pelanggaran dan aib untuk orang Agabag. Untuk menebus hal itu mereka mereka berdua harus berpisah. Yaki Pangimong harus berlari ke arah terbitnya matahari dan kemudian disusul adiknya. Pada saat Yaki Pangimong lari semua pohon yang dia lewati mati, melihat hal itu adiknya pun menyusul lari ke arah kakaknya. Dengan berlari kencang badan dan kaki Dala Ety luka-luka dan lecet-lecet karena kena batu dan duri. Ternyata pohon yang dilewatinya yang semula mati, hidup kembali karena kena percikan darah Dala Ety (sekarang yang dikenal dawak).
Suatu upacara yang dilakukan untuk mendamaikan dan darah binatang yang korban menjadi simbol kehidupan kemballi. Setelah Dala Ety dapat mengejar Yaki Pangimong mereka kembali berkumpul.
Selang beberapa bulan kumudian Dala Ety melahirkan Yaki Sadol. Yaki Sadol dalam hidupnya memiliki kelebihan (orang sakti). Menurut keyakinan turun temurun dipercayai oleh orang Agabag terdapat bekas kaki Yaki Sadol dimana sekarang dapat yang kita temui di atas batu-batu di wilayah sungai Long Bulu. Batu dan bekas kaki Yaki Sadol masih ada sampai saat ini.
Yaki Sadol memiliki istri bernama Yadu Polod, Yadu Polod berasal dari tumbuhan Polod sendiri. Dalam sejarah Dayak Agabag, mulai pada masa ini lah manusia pertama sekali menggunakan api. Yadu Polod memiliki anjing yang setia, dalam kesehariannya Yadu Polod menelusuri sungai dan pengunungan untuk mencari makanan. Suatu ketika anjingnya ikut dengan Yadu Polod. Dalam perjalanan tiba-tiba anjingnya menggonggong daun. Yadu polod pun melihat dan menghampiri. Ternyata anjingnya menggonggong sehelai daun (orang Dayak Agabag memberi nama pada daun itu, sebagai daun Apa, dan daun apa ini bagi masyarakat suku Dayak Agabag digunakan untuk penyedap rasa).
Setelah itu Yadu Polod melanjutkan perjalanannya, tidak jauh dari tempat semula dia mendapatkan Daun Apa. Anjing mengonggong lagi dan Yadu Polod pun berkata dalam hati apa lagi yang digonggong anjingnya?. Yadu Polod mendatangi dan ternyata yang digonggong anjingnya adalah sebatang pohon. Sambil mengonggong anjingnya mengibaskan kakinya di pohon itu, dimana terdapat lumut yang mirip dengan kapas. Yadu Polod pun mengikisnya dari pohon itu (orang Dayak Agabag menyebutnya sebagai todok). Yadu Polod kemudian mengambil todok, lau melanjutkan perjalanan.
Tidak lama berselang anjingnya menggonggong pohon bambu (orang Dayak Agabag menyebut sebagai tiikan), Yadu Polod mengambilnya juga. Dalam perjalanan pulang anjing Yadu Polod mengonggong lagi kali ini yang digonggong anjingnya adalah batu putih, Yadu Polod pun memungut batu itu. Setelah sampai dirumah Yadu Polod bertanya dalam hatinya apa arti dan apa kegunaan dari semuanya ini?.
Dalam tidurnya, Yadu Polod bermimpi bahwa itu adalah bahan untuk menyalakan api dan daun apa sebagai penyedap rasa. Setelah bangun dari tidurnya Yadu Polod mempraktekkan petunjuk mimipinya ternyata terbukti dan pada saat itu mulailah masyarakat Dayak Agabag mengenal adanya api. Tak lama kemudian Yadu Polod bertemu dengan Yaki Sadol dan Yaki Sadol pun mengambil Yadu Polod sebagai istrinya.
Setelah sekian lama Yaki Sadol hidup bersama dengan Yadu Polod mereka memiliki beberapa anak, salah satunya bernama Yadu Bongon. Yadu bongon hidup bersama Yaki Sadol dan Yadu Polod, berbeda dengan keluarganya yang lain. Setelah kedua orang tuanya meninggal hiduplah Yadu Bongon sebatang kara tak tahu dimana sanak saudaranya yang lain.
Dalam mempertahankan hidupnya Yadu Bongon selalu mencari udang di sungai kecil. Suatu ketika Yadu Bongon mendapat udang sungai yang lebih besar dari biasanyagampasan. Yadu Bongon pun melihatnya, lama kelamaan tempat Yadu Bongon memelihara Gampasan tersebut tidak muat lagi, maka Yadu Bongon pun melepasakan gampasan tersebut ke sungai dan setiap hari diberi makan. Suatu saat gampasan itu bertarung dengan buaya, dan mengalami luka yang serius dimana buaya kalah dan lari sementara Gampasan naik kepingir sungai dan mati. Setelah Yadu Bongon mengetahui hal itu, dia sangat sedih, setiap hari Yadu Bongon menangis.
Pada suatu saat Yadu Bongon bermimpi, dimana dia harus mengumpulkan tulang Gampasan tesebut dan memasukkannya ke dalam tempayan (sampah ogong). Tempayan itu diletakkan di atas kayu lalu dibakar. Setelah bagun dari tidurnya Yadu Bongon langsung melaksanakan yang terdapat dalam mimpinya. Pada saat tengah membakar, tempayan tempat tulang Gampasan dimasukkan Tempayan itu pecah dan pada saat yang bersamaan berdirilah seorang laki-laki yang muda, kekar dan Yadu Bongon memberi nama pada laki-laki itu Yaki Maningan. Setelah hidup bersama sekian lama mereka memiliki banyak anak, Yaki Maningan dan Yadu Bongon memiliki umur panjang. Pada zaman kejayaan Yaki Maningan banyak tantangan yang dihadapinya, mulai dari pemusnahan Tanyiouw (mahluk raksasa pemakan manusia), Piak (sejenis naga), Kanji dan Kudong (penyakit kusta). Sejak zaman kudong ini, anak cucunya Yaki Maningan terpencar ke pegunungan dan hulu-hulu sungai karena masing-masing mau menyelamatkan diri. Mulai zaman ini terjadi penyebaran masyarakat adat Dayak Agabag ke daerah pengunungan, dimana pada masa itu cara mempertahankan hidup dilakukan dengan berpindah-pindah dari satu pegunungan ke pegunungan lain, dari sungai yang satu ke sungai lain dan dari daratan satu ke daratan lainnya. Setelah terpisah dalam waktu yang lama Dayak Agabag terjebak pada tahap mengayau(agaayoua). Pada masa ini hiduplah beberapa orang pemberani (Ulun Masioog) diantaranya mulai dari Yaki Bumbulis, Yaki Sukat Balungkung, Kalamuku Nansyak, Yaki Pangkayungon, Yaki Linggit, Yaki Lumbis, Buayo Putut, dan banyak lagi Ulun Masioog lainnya yang tersebar di seluruh sungai yang ada di Lumbis, Sembakung dan Sebuku dan sungai Sadimulut, bahkan sampai di Linuang Kayam, Tanah Lia da Liu Gau.
Pada masa kini (Agayou) orang pemberani (Ulun Masioog) yang menegakkan Hukum Adat, dimana Ulun Masioog disegani oleh masyarakat yang lain. Untuk menyandang gelar Ulun Masioog pada masa itu tidak semudah kita bayangkan. Hal itu di ukur dari banyaknya kepala manusia yang pernah dipenggal, apabila terdapat seorang yang paling banyak memperoleh kepala, maka dialah menjadi penguasa dan menegakkan Hukum Adat pada komunitasnya.
Pada zaman penjajahan belanda hidup beberapa orang pemberani (Ulun Masioog), seperti Pangeran Taali, Pangeran Luayang dan banyak lagi lainnya. Pada saat ini terjadi gejolak dimana Pangeran Taali membunuh serdadu Belanda di Mansalong dan membagi-bagikan bagian tubuh serdadu Belanda ini kepada masyarakat kampung yang lain untuk dimakan. Akibat perbuatannya itu Pangeran Taali ditangkap.
Pada masa Kesultanan Bulungan, wilayah Dayak Agabag saat itu berada di bawah kekuasaan pemerintahan Kesultanan Bulungan. Cara yang digunakan oleh Sultan Bulungan untuk menguasai Dayak Agabag, adalah dengan mengangkat Pangeran Taali dan Pangeran Luayang menjadi Pangeran di Kesultanan Bulungan, sehingga dengan bergabungnya dua tokoh Dayak Agabag ini ke dalam lingkungan Kesultanan Bulungan, maka suku Dayak Agabag pun berada di bawah kekuasaan Kesultanan Bulungan, hal ini berlangsung hingga tahun 1947-an.
Setelah Kesultanan Bulungan melebur ke Negara Kesatuan Indonesia, masyarakat suku Dayak Agabag secara otomatis tergabung di dalamnya. Pada dekade 1970-an, konon istilah “Agabag”, pada suku Dayak Agabag diberi nama oleh para pendatang suku Dayak Tenggalan. Kata “Agabag”, dikatakan berasal dari kata “Abag” (cawat) dalam bahasa Tenggalan, tetapi kalau dikaji secara mendalam kata “Agabag”, sudah lama ada pada bahasa Dayak Agabag, sebelum hadirnya suku Dayak Tenggalan.
Beberapa orang dari generasi Dayak Agabag melakukan pengkajian secara mendalam terhadap suku yang disebut Tenggalan/ Tengalan dan ternyata nama ini muncul pada dekade 1970-an dan tidak memiliki ikatan psikologis, sosial dan kultural terhadap suku Dayak Agabag. Untuk menggali kembali sejarah ini yang sempat hilang ini maka digelarkan acara adat yang dihadiri oleh seluruh masyarakat dan Tokoh-Tokoh adat Dayak Agabag yang disebut dengan ILAU. Dalam Ilau tersebut tergalilah keberadaan suku Dayak Agabag secara mendalam
Sumber:hanysompoton.blogspot.com – Dayak.spot.com – 19 Mei 2014


Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Republic Grafika
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. | Percetakan Murah Surabaya | Republic Grafika - All Rights Reserved
Template Design by Republic Grafika Published by Republic Grafika